PENDIDIKAN


Pendidikan itu ada sejak adanya makhluk manusia yang pertama, hanya saja apa isi dan caranya yang mungkin berbeda-beda. Di dalam Al Qur’an, Allah telah menjelaskan bahwa, Allah telah menciptakan makhluk-Nya berdasarkan fitrah-Nya. Fitrah Allah untuk manusia disini diterjemahkan dengan potensi yang dapat dididik dan mendidik, memiliki kemungkinan untuk berkembang sehingga kemampuannya dapat melampaui jauh dari kemampuan fisiknya yang tidak berkembang. Oleh karena itu perlu adanya pengembangan potensi tersebut secara terus menerus, salah satunya yang dapat dilakukan adalah dengan usaha-usaha pengembangan potensi melalui pendidikan.

Sebelum membahas lebih mendalam tentang peningkatan kualitas pendidikan Islam, ada baiknya terlebih dahulu penulis akan menjabarkan tentang pengertian pendidikan Islam, agar tidak terjadi penyimpangan penafsiran tentang pendidikan Islam.

Menurut Zuhairimi pendidikan Islam adalah usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam, mengaktualisasikan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam serta bertanggung jawab sesuai dengan ajaran Islam.[9]
Sedang menurut Djumransyah Indar mengemukakan bahwa pendidikan Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang dapat mengarahkan kehidupan sesuai idiologi Islam sehingga dengan mudah membentuk dirinya sesuai dengan ajaran Islam.[10]
Zarkowi Soejoeti telah menjelaskan lebih terperinci tentang pendidikan Islam yang membaginya dalam tiga pengertian. Pertama, adalah jenis pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat dan semangat cita-cita untuk mengejawantahkan nilai-nilai Islam, baik kegiatan yang tercermin dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakannya. Dalam konteks ini kata Islam ditempatkan sebagai sumber nilai yang akan diwujudkan dalam kegiatan pendidikannya. Kedua, jenis pendidikan yang memberikan perhatian dan sekaligus menjadikan ajaran Islam sebagai pengetahuan untuk program studi yang diselenggarakannya. Disini kata Islam ditempatkan sebagai bidang studi, sebagai ilmu dan diperlakukan seperti ilmu yang lain. Ketiga, jenis pendidikan yang mencakup kedua pengertian itu. Dalam hal ini, Islam ditempatkan sebagai bidang studi yang ditawarkan melalui program studi yang diselenggarakannya.[11]
Pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia yang sepanjang hayatnya baik secara individu, kelompok sosial, maupun sebagai bangsa. Pendidikan telah mampu mengembangkan sumber daya manusia yang merupakan karunia Allah SWT, serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan sehingga kehidupan manusia semakin beradab.[12]
Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan kepada manusia yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham terhadap masalah keduniaan serta bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.[13]
Membangun sektor pendidikan tidak akan pernah mencapai tujuan akhir yang sempurna dan final. Hal ini terjadi karena pendidikan selalu dinamis, berubah dan tidak pernah konstan sesuai dengan perubahan masyarakat, ilmu pengetahuan, dan teknologi terlebih-lebih dalam era globalisasi secara virtual bebas keluar masuk di wilayah semua negara seperti saat ini. Keterbukaan itu kemudian mampu mendorong berbagai bentuk perubahan dihampir semua aspek dan sistem kehidupan manusia. Hal ini membawa dampak cepat usangnya kebijakan maupun praktis pendidikan di Indonesia.[14]
Seperti yang telah dikatakan oleh sahabat Rasul, Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa mendidik anak harus disesuaikan dengan zamannya karena mereka adalah generasi baru dan bukan generasi tatkala kita dididik.[15]
Oleh sebab itu pendidikan secara terus-menerus perlu ditingkatkan kualitasnya melalui sistem pembaharuan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholders agar dari sektor pendidikan itu kita mampu mempersiapkan generasi penerus yang memiliki keunggulan kompetitif dalm menjawab dan memecahkan tantangan masa depan bangsa diera global.
Selama ini telah banyak pemikiran dan kebijakan yang diambil dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan Islam yang diharapkan mampu memberikan nuansa baru bagi pengembangan sistem pendidikan Islam di Indonesia dan sekaligus hendak memberikan kontribusi dalam menjabarkan makna pengembangan kualitas nuansa manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana yang tertuang dalam tujuan pendidikan Nasional yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.[16]
Namun semua yang telah diupayakan belumlah mendapatkan hasil yang optimal. Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang ditargetkan memanglah tidak mudah, setidaknya ada program-program yang telah dijalankan oleh pemerintah yang sudah dan sedang berjalan. Untuk itu maka penulis akan menjelaskan upaya yang dilakukan oleh komponen pendidikan dalam meningkatkan kualitas pendidikan Islam.
Berkaitan dengan masalah yang dibahas ini yaitu peningkatan kualitas pendidikan Islam, maka dalam pembahasan ini akan dijelaskan mengenai upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan Islam.
1.       Guru

Dalam perspektif pendidikan Islam guru adalah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani siswa agar mendapat tingkat kedewasaan sehingga ia mampu melaksakan tugas-tugas kemanusiaannya sesuai dengan ajaran Islam.[17]
Pendidik atau guru merupakan salah satu faktor yang penting dalam proses pendidikan karena pendidiklah yang akan bertanggung jawab dalam mendidik dan membimbing siswa dalam proses pembelajaran kearah pembentukan keperibadian yang baik, cerdas, terampil, dan mempunyai wawasan atau cakrawala berpikir yang luas serta dapat bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidupnya.
Pelaksanaan pendidikan agama di sekolah juga diperlukan suasana interaksi antara guru dan siswa yang sifatnya lebih mendalam lahir dan batin. Figur "guru agama" tidak sekedar sebagai penyampai materi pelajaran, tetapi lebih dari itu ia adalah sumber inspirasi spiritual dan sekaligus sebagai pembimbing sehingga terjalin hubungan peribadi antara guru dan siswa yang cukup dekat dan mampu melahirkan keterpaduan bimbingan rohani dan akhlak dengan materi pengajarannya.[18]
Untuk itu ada beberapa syarat tertentu yang dibutuhkan oleh guru agama agar dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya disamping syarat-syarat yang harus dimiliki oleh guru-guru pada umumnya, yaitu:[19]
a).     Mempunyai ijasah formal,
b).     Sehat jasmani dan rohani,
c).      Berakhlak yang baik,
d).     Memiliki peribadi mukmin dan muhsin,
e).     Taat menjalankan agama,
f).       Memiliki jiwa pendidik dan kasih sayang kepada anak didiknya dan ikhlas jiwanya,
g).   Mengetahui dasar ilmu pengetahuan tentang keguruan terutama dedaktik dan metodik,
h).     Mengetahui ilmu pengetahuan agama.

Figur seorang guru menurut pandangan masyarakat pada umumnya merupakan pendukung norma yang senantiasa  dijunjung tinggi terutama sebagai guru agama, sehingga dengan demikian guru tidak hanya penegak moral budi pekerti dikalangan anak didiknya yang berlangsung di sekolah saja, akan tetapi lebih jauh dari itu seorang guru dalam tingkah laku dalam kesehariannya akan dijadikan tolok ukur bagi masyarakat lingkungannya. Oleh karena itu guru sebagai tauladan pada anak didiknya harus mencerminkan keperibadian yang terpuji. Disamping itu guru agama memikul tanggung jawab moral, oleh sebab itu sebelum melaksanakan tugasnya sebagai pendidik hendaklah ia menata dirinya sendiri. Sehingga tidak terjadi kontradiksi antara teori yang diberikan dengan tingkah lakunya.
Berdasarkan sejumlah penelitian pendidikan, guru diyakini sebagai salah satu faktor yang menentukan tingkat keberhasilan anak dalam melakukan transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi serta etika dan moral.[20]
Seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal yaitu:[21]
Guru bukan hanya tampil sebagai pengajar (teacher) seperti fungsinya yang menonjol selama ini melainkan sebagai pelatih, pembimbing (counsellor) dan manajer belajar (learning manager).[22]
Dengan demikian betapa kompleksnya tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru, sehingga untuk melaksanakan tugasnya sesuai dengan profesinya, guru perlu menguasai berbagai hal sebagai kompetensi yang harus dimilkinya.
Pada dasarnya guru harus memiliki 3 (tiga) kompetensi, yaitu kompetensi kepribadian, kompetensi penguasaan bahan ajar dan kompetensi cara mengajar.
a.      Kompetensi Kepribadian

Kepribadian keguruan ini harus terus menerus dikembangkan agar guru terampil dalam:[23]
1).   Mengenal dan mengakui harkat dan potensi dari setiap individu atau peserta didik yang diajarinya.
2).   Membina suatu suasana sosial yang meliputi interaksi belajar mengajar sehingga bersifat menunjang secara moral (batiniyah) terhadap murit bagi terciptanya kesepahaman dan kesamaan arah pikiran dan perbuatan antara guru dengan murid.
3).   Membina suatu perasaan saling menghormati, saling bertanggung jawab dan saling mempercayai antara guru dan murid.

b.      Kompetensi Penguasaan Terhadap Bahan Ajar
Penguasaan yang meliputi bidang studi sesuai dengan kurikulum dan pendalaman aplikasi bidang studi. Semuanya itu sangat perlu dibina karena selalu dibutuhkan dalam:
1).   Menguraikan ilmu pengetahuan dan kecakapan apa-apa yang harus diajarkan kedalam bidang ilmu yang bersangkutan.

2).   Menyusun komponen-komponen atau informasi-informasi itu dengan baik, sehingga akan memudahkan murid untuk mempelajari pelajaran yang diterimanya.

c.      Kompetensi Cara-cara Mengajar
Kompetensi atau keterampilan dalm mengajarkan suatu bahan pengajaran sangat diperlukan oleh seorang guru. Diantaranya yaitu:

1).   Merencanakan setiap program satuan pelajaran, program semester, dan program tahunan.
2).   Menggunakan dan mengembangkan media pendidikan (alat peraga) dalam proses pembelajaran.
3).   Memvariasikan metode mengajar yang sesuai dengan materi yang disampaikan.


2.       Siswa

Siswa atau anak didik dalam perspektif pendidikan Islam adalah setiap manusia yang sepanjang hayatnya selalu dalam perkembangan.[24]
Dalam paradigma pendidikan Islam, siswa merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan.
Dari pengertian diatas dapat dijelaskan bahwa anak didik merupakan subjek dan objek pendidikan yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu mengarahkan perkembangan potensi yang dimilikinya, serta membimbingnya menuju kedewasaan.
Prinsip yang paling penting dalam mendidik siswa adalah bahwa mereka merupakan individu yang selalu tumbuh dan berkembang. Sehubungan dengan itu agar proses pembelajaran dapat berjalan secara efektif, maka guru perlu memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hakikat siswa, sehingga akan memudahkan dalam melaksanakan pendidikan, dapat menimbulkan rasa cinta kepada siswa, dan menghindarkan diri dari banyak kesulitan dan kesalahan dalam praktik pendidikan.[25]
Untuk itu perlu diperjelas beberapa deskripsi tentang hakikat siswa (anak didik) dan implikasinya terhadap pendidikan Islam, yaitu:
a.      Siswa bukanlah orang dewasa, akan tetapi mereka memiliki dunianya sendiri.
b.      Siswa memiliki perbedaan perkembangan dan pertumbuhan.
c.      Siswa adalah manusia yang memiliki kebutuhan, baik kebutuhan jasmani maupun rohani yang harus dipenuhi.
d.      Siswa merupakan makhluk Allah yang memiliki perbedaan individu baik yang disebabkan oleh faktor pembawaan ataupun faktor lingkungannya.
e.      Siswa merupakan gabungan dua unsur utama, yaitu jasmani dan rohani.
f.       Siswa adalah manusia yang mempunyai potensi yang dapat dikembangkan dan berkembang secara dinamis.

3.       Sarana dan Prasarana
Sarana pendidikan adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung digunakan dalam menunjang proses pendidikan dan proses pembelajaran, seperti gedung, ruang kelas, kursi, serta alat-alat dan media pembelajaran.[26] Seperti yang telah ditetapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 079/1975, sarana pendidikan terdiri dari 3 (tiga) kelompok besar, yaitu:[27]
a.      Bangunan dan perabot sekolah,
b.      Alat pelajaran, seperti alat-alat peraga dan laboratorium,
c.      Media pendidikan.

Sedangkan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan, seperti halaman, kebun, taman sekolah., tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar seperti taman sekolah untuk praktik biologi, halaman sekolah sekaligus untuk lapangan olah raga.[28]

Adapun kegunaan sarana dan prasarana pendidikan ada 3 (tiga) macam, yaitu:
a.      Menjelaskan penyajian pesan  agar tidak terlalu verbalis (dalm bentuk kata-kata atu tulisan saja).,
b.      Mengatasi keterbatasan ruang, waktu, dan daya indera.,
c.  Mengatasi sifat pasif anak didik. Artinya; menimbulkan kegairahan belajar, memungkinkan interaksi yang lebih langsung antara ank didik dengan realitas dan memungkinkan siswa diri sendiri menurut kemampuan dan minatnya.[29]


Jelas kiranya bahwa penyelenggaraan pendidikan bermutu tidak mungkin dapat tercapai tanpa tersedianya dana dan sarana yang lengkap dan canggih dengan kebutuhan program yang ditangani.

Perlu dicatat bahwa pendidikan yang mahal tidaklah menguntungkan, tetapi pendidikan yang baik tidaklah murah, meskipun selalu disarankan agar pemakaian yang selalu hemat, kenyataannya memang menunjukkkan bahwa sistem pendidikan yang baik memerlukan biaya yang lebih banyak.[30]

Namun uang yang banyak dan fasilitas yang lengkap dan mahal tidak dengan sendirinya menjamin tercapainya pendidikan yang bermutu, hal itu sangat tergantung pada sistem pengelolaan, pengembangan, serta kemampuan keahlian dan moral para petugas yang bertanggung jawab.[31]

Problematika yang Dihadapi dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam

1.       Guru
Tidak sedikit guru agama yang masih belum memenuhi syarat. Hal ini mengakibatkan terhambatnya proses pembelajaran, sehingga tujuan pendidikan tidak tercapai. Dari beberapa problema yang dihadapi oleh guru baik itu yang berhubungan langsung dengan proses pembelajaran maupun tidak.
Kesulitan yang dialami langsung oleh guru dalam proses pembelajaran antara lain:
a.      Kesulitan memperoleh metode yang tepat dalam mengajarkan suatu materi agama. Pelaksanaan pendidikan agama masih terpaku dengan metode ceramah yang mengakibatkan kebosanan pada siswa.
b.      Kesulitan dalam mengevaluasi dan melaksanakn rencana yang telah ditentukan karena keterbatasan waktu.
c.       Kesulitan dalam menghadapi perbedaan individu siswa.

d.      Kesulitan dalam memperoleh alat penunjang kegiatan pembelajaran khususnya materi agama dan bahan bacaa, sehingga pengetahuan mereka kurang bisa berkembang.

e.      Ketidaksesuaian antara keahlian dengan mata pelajaran yang diajarkannya, karena sering terjadi guru agama ditugasi untuk mengajar mata pelajaran umum.[32]
f.        Kesulitan dalam disiplin, pengawasan, dan perkembangan sosial tiap siswa.

Sedangkan kesulitan-kesulitan yang tidak langsung berkaitan dengan proses pembelajaran antara lain:
a.     Dari aspek materi imbal jasa, baik bersifat materi maupun non materi harus diakui masih jauh dari "kepuasan" dan "keadilan". Meskipun diakui bahwa harkat dan martabat guru bukan terletak pada aspek materi.[33]
b.    Aspek "hubungan antar peribadi" yang terkadang masih belum memberikan perwujudan yang memuaskan.
c.    Kondisi kerja para guru, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik masih belum memberikan derajat kepuasan.
d.    Tidak sedikit guru yang mencari penghasilan tambahan disamping dia mengajar, seperti berdagang, beternak (bagi mereka yang berada di desa), ngojek dan lain sebagainya. Yang akibatnya adalah guru kurang bisa memusatkan perhatiannya pada tanggung jawabnya sebagai pendidik.

2.       Siswa

Pendidikan kita selama ini dirasa membelenggu, akibatnya kedudukan siswa hanya dijadikan objek. Kebutuhan siswa tidak pernah menjadi faktor pertimbangan dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidikan dirasakan sebagai kewajiban dan bukan kebutuhan. Pendidikan yang membebaskan dapat diwujudkan dengan aktualisasi para siswa dalam proses belajarnya. Mereka dapat melakukan berbagai kegiatan, tetapi tetap ada kontrol dari guru.
Banyak siswa yang merasa jenuh dan bosan mengikuti pelajaran di kelas dikarenakan metode yang digunakan terlalu monoton. Mereka akan merasa gembira ketika mendengar bel istirahat atau bel pulang berbunyi, mereka seakan-akan terbebas dari penjara. Hal ini juga tidak bisa menyalahkan siswa jika hasil studi mereka tidak memuaskan dan hendaknya ini juga disadari oleh guru.
Disamping membutuhkan materi pembelajaran didalam kelas, siswa juga mempunyai kebutuhan yang diantaranya kebutuhan akan berkembangnya bermain, berolah raga dan sebagainya. Sehingga otak mereka tidak hanya untuk berpikir tentang materi pelajaran, tetapi juga butuh refresing sehingga tidak tegang (stress).
Selain itu siswa juga mempunyai kemampuan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Seperti perbedaan IQ, latar belakang keluarga, maupun watak., yang juga bisa menjadikan problem jika dari gurunya tidak memperhatikan hal tersebut. Maka dari itu seorang guru harus benar-benar paham akan kebutuhan dan keinginan siswanya.

3.       Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana pendidikan juga merupakan hal yang penting dalam penyelenggaraan pendidikan, karena itu perlu dikembangkan secara internal berdasarkan acuan standar kualitas baku. Termasuk dalam pemenuhan alat-alat komunikasi seperti komputer dan internet. Hal inilah yang sering menjadi kendala dalam sekolah karena minimnya penyediaan.

Selain itu yang sering menjadi hambatan dalam proses pembelajaran adalah masih sangat terbatasnya alat peraga pembelajaran. Padahal alat bantu ini sangat penting bagi siawa dalam memahami materi secara lebih mendalam.

Terbatasnya penyediaan sarana dan prasarana disebabkan karena masih minimnya dana yang tersedia, sehingga untuk menyediakan alat-alat pembelajaran yang sangat dibutuhkan oleh siswa pihak sekolah belum mampu menyediakannya.

Supervisi Kepala Madrasah dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Pendidikan Islam

Sebelum membahas tentang supervisi Kepala Madrasah dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan Islam, ada baiknya kita pelajari dulu pengertian dari supervisi itu sendiri.
Supervisi secara etimologi berasal dari bahasa Inggris: “supervision” yang terdiri dari dua kata, yaitu “super” dan “vision”. Super berarti atas atau lebih, sedangkan vision berarti melihat atau meninjau. Oleh karena itu supervisi diartikan "melihat atau meninjau dari atas (menilik) dan menilai dari atas yang dilakukan oleh pihak atasan terhadap hasil bawahannya"[34]
Setiap pelaksanaan program pendidikan memerlukan adanya pengawasan atau supervisi. Supervisi bertanggung jawab atas keefektifan program itu. Oleh karena itu, supervisi harus meneliti ada tidaknya kondisi-kondisi yang memungkinkan tercapainya tujuan pendidikan. Berikut ini adalah beberapa pendapat para ahli tentang definisi supervisi:

1.      Menurut Ngalim Purwanto, supervisi adalah aktifitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah dan yang lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara aktif.[35]
2.  Piet Sahertian mengemukakan bahwa, supervisi merupakan usaha menstimulasi, mengkoordinasi, dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru di sekolah baik secara individual maupun secara kolektif agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran.[36]
3.     Mc. Nerney melihat bahwa supervisi sebagai suatu prosedur memberikan arah serta mengadakan penilaian secara kritis terhadap proses pengajaran.[37]
4.      Dalam Dictionary of Education, Good’s Carter memberi pengertian bahwa supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran, termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan dan perkembangan guru-guru serta menyeleksi, dan merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode-metode mengajar serta evaluasi pengajaran.[38]
5.     Supervisi pendidikan menurut Hadari Nawawi adalah pelayanan yang disediakan oleh pemimpin untuk membantu guru-guru agar menjadi guru yang profesional sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan agar meningkatkan efektifitas proses belajar mengajar di sekolah.[39]
6.    Oteng Sutisna mendiskriksikan supervisi sebagai suatu kegiatan pembelajaran yang disediakan untuk para guru dalam menjalankan pekerjaan agar lebih baik.[40]

Dari beberapa definisi diatas secara implisit memiliki wawasan dan pandangan baru tentang supervisi yang mengandung ide-ide pokok seperti menggalakkan profesionalisme guru, mengembangkan kepemimpinan demokratis, memecahkan berbagai masalah yang berkaitan dengan efektifitas proses pembelajaran. Pendekatan-pendekatan baru tentang supervisi tersebut menekankan pada peranan supervisi selaku bantuan, pelayanan, serta fasilitas (pemberi kemudahan) kepada guru dan personil pendidikan lainnya untuk meningkatkan kemampuan dan kualitas pada umumnya dan khususnya kualitas proses pembelajaran di sekolah.
Berdasarkan kajian tersebut diatas terhadap pengertian supervisi dapat disimpulkan bahwa supervisi bertujuan untuk mengembangkan iklim yang kondusif dan lebih baik dalam kegiatan pembelajaran melalui pembinaan dan peningkatan profesi mengajar. Dengan kata lain , tujuan supervisi pendidikan adalah membantu dan memberikan kemudahan kepada para guru untuk belajar bagaimana meningkatkan kemampuan mereka guna mewujudkan tujuan belajar anak didik.
Secara khusus Amatembun menjelaskan tujuan supervisi adalah sebagai berikut:[41]

a.   Membina Kepala Sekolah dan guru-guru untuk lebih memahami tujuan pendidikan yang sebenarnya dan peranan sekolah dalam merealisasikan tujuan tersebut.
b.  Memperbesar kesanggupan Kepala Sekolah dan guru-guru untuk mempersiapkan anak didiknya menjadi anggota masyarakat yang lebih aktif.
c.    Membantu Kepala Sekolah dan guru untuk mengadakan diagnosis secara kritis terhadap aktifitas-aktifitasnya dan kesulitan belajar mengajar, serta menolong mereka merencanakan perbaikan-perbaikan.
d.   Meningkatkan kesadaran Kepala Sekolah dan guru-guru serta sekolah lain terhadap cara kerja yang demokratis dan komprehensif, serta memperbesar kesediaan untuk tolong menolong.
e. Memperbesar semangat guru dan meningkatkan motivasi berprestasi untuk mengoptimalkan kinerja secar maksimal dalam profesinya.
f.     Membantu Kepala Sekolah untuk mempopulerkan pengembangan program pendidikan di sekolah kepada masyarakat.
g.    Melindungi orang-orang yang disupervisi terhadap tuntutan-tuntutan yang tidak wajar dan kritik-kritik yang tidak sehat dari masyarakat.
h.    Membantu Kepala Sekolah dan guru dalam mengevaluasi aktifitas dan kreatifitas peserta didik.
i.      Mengembangkan rasa kesatuan dan persatuan diantara guru.


Dalam sebuah organisasi administrasi pendidikan diperlukan pengawasan yang kontinu untuk menghindari hambatan-hambatan yang semakin lama semakin banyak sehingga memungkinkan tujuan pendidikan tidak tercapai dalam waktu yang telah direncanakan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka Darmanto yang mengutip pendapatnya Swearingen, memberikan 6 fungsi supervisi, yaitu sebagai berikut:[42]
1.     Mengkoordinir semua usaha sekolah.
2.     Memperlengkapi kepemimpinan sekolah.
3.     Memperluas pengalaman guru.
4.     Menstimulir usaha-usaha yang kreatif.
5.     Memberikan fasilitas dan penilaian yang terus menerus
6.     Memberikan pengetahuan kepada setiap anggota staf.


Dilihat dari fungsinya, maka akan tampak dengan jelas peranan supervisi itu. Peran itu tampak pada kinerja supervisor yang melaksanakan tugasnya. Seorang supervisor dapat berperan sebagai:[43]
a.   Koordinator, yaitu mengkoordinasi program belajar mengajar, tugas-tugas anggota staf, dan berbagai kegiatan yang berbeda diantara para guru.
b.   Sebagai konsultan, ia dapat memberi bantuan, dan bersama guru mengkonsultasikan masalah yang dialaminya.
c. Sebagai pemimpin kelompok, ia dapat memimpin sejumlah staf guru dalam mengembangkan potensi kelompok.
d.     Sebagai evaluator, ia dapat membantu guru-guru dalam menilai hasil dan proses belajar, dan dapat menilai kurikulum yang sedang dikembangkan.

Sebagai inti dari kegiatan supervisi adalah bagaiman mengintegrasikan fungsi-fungsi tersebut kedalam tugas pembinaan terhadap pribadi guru dan tenaga kependidikan lainnya yang disupervisi.
Supervisi pendidikan dilakukan atas dasar kerja sama, partisipasi, dan kolaborasi. Tidak didasarkan atas paksaan dan kepatuhan. Dengan begitu, diharapkan timbul kesadaran serta perkembangan inisiatif dan imajinasi dari pihak guru, bukan konfirmatis. Dalam hal ini, supervisi berarti bagaimana memberikan kemudahan dan membantu guru mengembangkan potensinya secara optimal. Supervisi hendaknya melahirkan kepemimpinan yang sanggup meningkatkan efektifitas dan efisiensi program sekolah secara keseluruhan serta memperkaya lingkungan para guru; memberi kesempatan pada mereka untuk bekerja dan meningkatkan kinerja, mengidentifikasi, serta memecahkan berbagai permasalahan yang mereka hadapi; melibatkan guru-guru dalam merumuskan tujuan-tujuan dan menilai berbagai kegiatan pendidikan, menilai program sekolah serta segala usaha penyesuaian pengajaran dengan kebutuhan dan perkembangan siswa dan tuntutan masyarakat global.[44]
Untuk merealisasikan preskripsi diatas, Sahertian mengutip pendapat Gwyn dan merumuskan sepuluh tugas utama supervisor, yaitu:[45]
a.    Membantu guru mengerti dan memahami para siswa.
b.  Membantu mengembangkan dan memperbaiki, baik secara individual maupun secara bersama-sama.
c.   Membantu seluruh staf sekolah agar lebih efektif dalam melaksanakan proses belajar mengajar.
d.    Membantu guru meningkatkan cara mengajar yang efektif.
e.    Membantu guru secara individual.
f.     Membantu guru agar dapat menilai para peserta didik agar lebih baik.
g.    Menstimulir guru agar dapat menilai diri dan pekerjaannya
h.    Membantu guru agar bergairah dalam pekerjaan dengan penuh rasa aman.
i.      Membantu guru dalam melaksanakan kurikulum di sekolah.
j.    Membantu guru dapat memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang kemajuan sekolahnya.

Sebagai seorang yang harus melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, supervisor hendaknya mempunyai syarat-syarat sebagaimana pendapat Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi berikut ini:[46]
a.    Ia harus mempunyai perikemanusiaan dan solidaritas yang tinggi, baik menilai orang lain secara teliti dari segi kemampuannya serta dapat bergaul dengan baik.
b.    Ia harus dapat memelihara dan menghargai dengan sungguh-sungguh semua kepercayaan yang diberikan oleh orang-orang yang berhubungan dengannya.
c.    Ia harus berjiwa optimis yang berusaha mencari yang baik, mengharapkan yang baik, dan memelihara segi-segi yang baik.
d. Hendaknya bersifat yang adil dan jujur, sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh penyimpangan-penyimpangan manusia.
e.    Hendaknya ia cukup tegas dan objektif  (tidak memihak) sehingga guru-guru yang lemah yang menjadi stafnya tidak, tidak “hilang dalam bayangan” orang-orang yang kuat pribadinya.
f.     Ia harus berjiwa terbuka dan lues, sehingga lekas dan mudah memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap prestasi yang baik.
g.    Jiwanya yang terbuka tidak boleh menimbulkan prasangka terhadap seseorang yang untuk selama-lamanya hanya karena suatu kesalahan saja.
h.    Ia hendaknya jujur, terbuka, dan penuh tanggung jawab.
i.      Sikapnya harus ramah, terbuka, dan mudah dihubungi, sehingga guru-guru atau siapa saja yang memerlukan tidak akan ragu-ragu untuk menemuinya.
j.      Ia harus dapat bekerja dengan tekun dan rajin serta teliti, sehingga merupakan contoh bagi anggota dan stafnya.
k.    Personal appearnce terpelihara dengan baik, sehingga dapat menimbulkan respect dari orang lain.
l.      Terhadap murid-murid ia harus mempunyai perasaan cinta sedemikian rupa, sehingga ia harus wajar dan serius mempunyai perhatian terhadap mereka.

Seorang supervisor hendaknya memiliki teknik-teknik supervisi yang tepat sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Berikut ini beberapa teknik supervisi yang dapat dipilih dan digunakan oleh supervisor pendidikan.
1.       Kunjungan dan Observasi Kelas (Class Visit)

Teknik ini ditujukan langsung kepada perbaikan cara-cara mengajar, menggunakan alat peraga, dan kerja sama murid dalam kelas. Kunjungan dan observasi kelas sangat bermanfaat untuk mendapatkan informasi tentang proses pembelajaran secara langsung, baik kekurangan maupun kelemahannya. Melalui teknik ini Kepala Madrasah dapat mengamati secara langsung kegiatan guru dalam melaksanakan tugas utamanya, yaitu mengajar, menggunakan alat, metode, dan teknik mengajar secara keseluruhan.
2.       Pembicaraan Individual
Kunjungan dan observasi kelas pada umumnya dilengkapi dengan pembicaraan individual antara Kepala Madrasah dan guru. Pembicaraan individual dapat juga dilakukan tanpa harus mengadakan kunjungan kelas terlebih dahulu jika Kepala Madrasah merasa bahwa guru memerlukan bantuan atau guru itu sendiri yang merasa memerlukan bantuan.
3.       Diskusi Kelompok
Diskusi kelompok adalah suatu kegiatan mengumpulkan sekelompok orang dalam situasi tatap muka dan interaksi lisan untuk bertukar informasi atau berusaha untuk mencapai suatu keputusan bersama. Kegiatan diskusi ini dapat mengambil beberapa bentuk pertemuan; seperti panel, seminar lokakarya, konferensi kelompok studi dan kegiatan lainnya.
4.       Demonstrasi Mengajar
Demonstrasi mengajar ialah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang memiliki kemampuan dalam hal mengajar, sehingga guru lain dapat mengambil hikmah dan manfaatnya. Teknik ini bertujuan untuk memberi contoh bagaimana cara melaksanakan proses pembelajaran yang baik.
5.       Perpustakaan Profesional
Ciri profesional guru antara lain tercermin dalam kemauan dan kemampuannya untuk belajar secara terus dalam rangka meningkatkan dan memperbaiki tugas utamanya, yaitu mengajar. Untuk kepentingan tersebut diperlukan berbagai sumber belajar yang dapat memenuhi kebutuhan guru. Dalam hal ini keberadaan perpustakaan di sekolah sangat dirasakan manfaatnya dan sangat penting bagi peningkatan mutu dan pertumbuhan profesi mereka.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami bahwa supervisi yang dilaksanakan oleh Kepala Madrasah harus mampu melakukan berbagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja tenaga kependidikan. Lancar tidaknya dan tinggi rendahnya mutu suatu lembaga pendidikan tidak hanya ditentukan oleh jumlah guru dan kecakapannya, tetapi lebih banyak ditentukan oleh cara Kepala Madrasah melaksanakan kepemimpinan di madrasahnya. Begitu pula melaksanakan supervisi untuk meningkatkan mutu pendidikan, bukanlah memanfaatkan para guru tetapi bagaiman Kepala Madrasah mengikutsertakan semua potensi yang ada dalam kelompoknya semaksimal mungkin.
Dengan kata lain supervisi Kepala Madrasah pada dasarnya merupakan kegiatan pembinaan personil agar semakin mampu melaksanakan tugas yang termasuk dalam job description didalam kerjanya. Sehubungan dengan itu maka tujuan supervisi Kepala Madrasah adalah menilai kemampuan setiap personil disekolah dalam melaksanakan tugas-tugasnya, guna membantu yang bersangkutan melakukan perbaikan bilamana diperlukan, dengan menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam bekerja agar dapat diatasi dengan usahanya sendiri.

[9] Zuhairimi, Ilmu Pengetahuan Islam (Surabaya: Usaha Nasional, 1989) hal. 36.
[10] Djumransyah Indar, Ilmu Pengetahuan Islam (Malang: IAIN Sunan Ampel Malang 1991) hal. 9
[11] Malik Fadjar, Fisi Pembaharuan Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998) hal. 3.
[12] Malik Fadjar, Fisi Pembaharuan Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998) hal. 53
[13] Syamsul Mizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002) hal. 87.
[14] H. AR. Tilaar, Pendidikan Untuk Masyarakat Indonesia Baru (Jakarta: Grasindo 2002) hal. 98.
[15] Malik Fadjar, Fisi Pembaharuan Pendidikan Islam (Jakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penyusunan Naskah Indonesia, 1998) hal. 86
[16] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002) hal. 35.
[17] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam……, hal. 42.
[18] Malik Fadjar, Fisi Pembaharuan………, hal. 158.
[19] Abu Ahmadi, Metode Khusus Pendidikan Agama (Bandung: Armico 1986) hal. 49.
[20] Indradjati Sidi, Menuju Masyarakat Belajar (Jakarta: Paramadina 2001) hal. 37.
[21] Ibid, hal. 37.
[22] Ibid, hal. 39.
[23] Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana perguruan Tinggi Agama, Metode Khusus Pengajaran Agama Islam (Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1985) hal. 207.
[24] Heri Noer Ali, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Wacana Ilmu, 1999) hal. 113.
[25] Zaraha Idris dan Lisma Jamal, Pengantar Penddikan Islam (Jakarta: Grafindo, 1992) hal. 37.
[26] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah…., hal. 49.
[27] Darmanto, Administrasi Pendidikan, (Surabaya: Rineka Cipta 2001) hal. 51.
[28] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah…., hal. 50.
[29] Arief S. Sadiman,dkk, Media Pendidikan (Rajawali Pers: Jakarta, 1993) hal. 16.
[30] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah…., hal. 149.
[31] Mastuhu, Menuju ……, hal. 110.
[32] Malik Fadjar, Madrasah dan Tantangan Modernitas (Bandung: Mizan, 1998), hal. 42.
[33] Hasan, Ali dan Mukti Ali, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya) hal. 88.
[34] Hadari Nawawi, Administrasi Pendidikan (Jakarta: Gunung Jati, 1984) hal. 103.
[35] Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan (Bandung: Rosdakarya, 1984) hal. 103.
[36] Piet A. Sahertian, Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan SDM  (Jakarta: Rineka Cipta, 2000) hal. 17.
[37] Abu Ahmadi dan Ahmad Rohani, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara 1991) hal. 68.
[38] Made Pidarta, Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara) hal.18.
[39] Hadari Nawawi, Administrasi … hal. 104.
[40] Oteng Sutisna, Admistrasi Pendidikan: Dasar Teoritis Untuk Praktek profesional (Bandung: Aksara, 1989) hal. 22.
[41] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) hal. 15.
[42] H.M. Darmanto, Administrasi Pendidikan (Surabaya: Rineka Cipta, 2001) hal. 179.
[43] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) hal. 15.
[44] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003) hal. 159.
[45] Ibid, hal. 19.
[46] Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi, Pedoman Penyelenggaraan ….., hal. 76.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar